KEBERADAAN PARALEGAL DALAM
UNDANG UNDANG BANTUAN HUKUM
“ Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum telah memberikan
legitimasi
yuridis terhadap eksistensi Paralegal sebagai bagian dari pemberi bantuan
hukum. Selama ini eksistensi Paralegal hanya memperoleh legitimasi sosial dari
komunitasnya, sehingga dalam menjalankan peran dan tugas mulianya seringkali
mendapat resistensi dari aparat penegak hukum maupun pemerintah”
Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum, selanjutnya disebut Undang-Undang Bantuan Hukum adalah
dalam rangka mewujudkan akses terhadap keadilan (acces to justice) bagi
setiap orang terutama orang miskin atau tidak mampu agar memperoleh jaminan
dalam pemenuhan haknya atas bantuan hukum.
Jaminan atas hak bantuan hukum merupakan implementasi
dari prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law)
sebagaimana amanat konstitusi dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2)
UUD1945. Negara terutama pemerintah sebagai penyelenggaran negara memiliki
tanggung jawab dalam pemenuhan hak atas bantuan hukum sebagai hak
konstitusional warga negara. Berdasarkan pertimbangan inilah secara yuridis
urgennya eksistensi Undang-Undang Bantuan Hukum.
Adanya kesadaran negara, dalam hal ini pemerintah
untuk mengimplementasikan tanggungjawabnya melalui lahirnya Undang-Undang
Bantuan Hukum, setidaknya menjadi salah satu peluang yang mesti dimanfaatkan
dalam upaya mengwujudkan akses terhadap keadilan, terlepas dari segala
kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam Undang-Undang Bantuan Hukum.
Di dalam Undang-Undang Bantuan Hukum, yang dimaksud
dengan bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan
hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Bantuan hukum diberikan
oleh lembaga bantuan
hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum, yang meliputi menjalankan kuasa, mendampingi,
mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan
hukum penerima bantuan hukum. Dalam pelaksanaannya, selanjutnya pemberi bantuan
hukum diberikan hak melakukan rekrutmen terhadap Advokat, Paralegal, Dosen, dan
Mahasiswa Fakultas Hukum. Inilah bentuk legitimasi yuridis terhadap eksistensi
Paralegal dalam pemberian layanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin atau
kelompok masyarakat miskin yang berhadapan dengan masalah hukum.
Dengan adanya pengakuan secara yuridis terhadap
eksistensi Paralegal dalam Undang-Undang Bantuan Hukum ini, maka akan semakin
memperkuat status maupun posisi Paralegal dalam menjalankan peran dan tugasnya
di komunitas, mengingat selama ini eksistensi Paralegal hanya memperoleh
legitimasi sosial dari komunitasnya.
Bila ditelusuri lebih jauh, terutama dilihat dari
sejarah dan perkembangan Paralegal pada dasarnya merupakan seseorang yang bukan
sarjana hukum, tetapi mengetahui masalah hukum dan advokasi hukum. Istilah
Paralegal pertama kali dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1968 yang
mengartikan Paralegal sebagai Legal Asistant yang tugasnya membantu
seorang legal yaitu pengacara atau notaris dalam pemberian saran hukum kepada
masyarakat dan bertanggungjawab langsung kepada legal. Untuk menjadi Legal
Asistant diperlukan kualitas pendidikan tertentu, namun tidak dapat
beracara atau mengesahkan suatu perbuatan hukum.
Sedangkan di Indonesia Paralegal yang dikembangkan
tidak dalam artian legal Asistant sebagaimana di Amerika Serikat,
melainkan Paralegal yang bekerja untuk komunitas tertentu. Paralegal dilahirkan
melalui serangkaian pendidikan secara komprehensif dan berkelanjutan guna
membangun kesadarannya, dengan harapan selanjutnya adalah mampu
memperjuangkan pemenuhan hak-hak asasi dari komunitasnya melalui pemberian layanan
bantuan hukum.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum, istilah
Paralegal tidak ditemukan dalam satu-pun peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Meskipun demikian eksistensinya telah lama dikenal dan berkembang di
komunitas masyarakat. Paralegal sendiri digagas dan dikembangkan oleh kalangan
dari organisasi non pemerintah (non government organization),
diantaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebagai salah satu
lembaga tertua di Indonesia, dengan memberikan berbagai bentuk pendidikan dan
pelatihan hukum bagi masyarakat miskin dan marjinal, sehingga mereka memiliki
kemampuan dan keterampilan dalam memperjuangkan hak-haknya, sekaligus mampu
memberikan layanan bantuan hukum di komunitasnya.
Peran Paralegal dalam pemberian layanan bantuan hukum,
sangat urgen eksistensinya, mengingat masih banyaknya masyarakat yang miskin,
marjinal dan buta hukum di Indonesia yang sulit mendapatkan akses terhadap
keadilan, apalagi jumlah penduduk yang padat dan menyebar di berbagai wilayah
yang luas sehingga tidak sebanding dengan jumlah Advokat yang tersedia,
termasuk kepeduliannya terhadap permasalahan hukum yang dihadapi
masyarakat/kelompok masyarakat miskin. Sementara selama ini Paralegal telah
berkontribusi secara nyata di komunitasnya dengan memberikan layanan bantuan
hukum. Paralegal bahkan juga menjalankan kerja-kerja advokasi dan
pengorganisasian di komunitasnya untuk dapat mendorong tumbuh berkembangnya
kesadaran hukum masyarakat serta mampu mendorong proses demokrasi di tingkat lokal.
Namun tidak adanya legitimasi yuridis terhadap
eksistensi Paralegal selama ini senantiasa menjadi hambatan dan kendala bagi
Paralegal dalam menjalankan peran dan tugasnya dalam pemberian layanan bantuan
hukum, baik berupa legalitas yang seringkali dipertanyakan oleh berbagai pihak
terutama aparat penegak hukum maupun pemerintah. Hal mana cenderung berujung
pada resistensi terhadap Paralegal sehingga mereka tidak dapat bekerja secara
maksimal.
Adanya legitimasi yuridis terhadap eksistensi
Paralegal, tentunya semakin memperkuat eksistensi Paralegal, sehingga ke depan
mereka diharapkan dapat berperan secara maksimal dalam kerja-kerja pemberian
layanan bantuan hukum. Namun, setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi
kedepan. Pertama, tentang bagaimana menjamin kapasitas Paralegal sesuai
dengan peran dan fungsinya, kedua bagaimana membuat dan menjelaskan
batas-batas kerja Paralegal karena Paralegal bukanlah sebuah pekerjaan atau
profesi dan yang ketiga mengenai mekanisme pengawasan terhadap Paralegal.
Guna menghadapi tantangan di atas, maka kedepan
Paralegal harus memiliki kapasitas dan integritas yang kuat, sehingga
kader-kader Paralegal perlu mendapatkan pendidikan secara komprehensif dan
berkelanjutan, baik mengenai pengetahuan hukum dasar, keterampilan maupun nilai
etis seorang Paralegal. Dengan demikian sangat perlu kiranya, lembaga pemberi
bantuan hukum untuk segera mempersiapkan adanya lembaga pendidikan khusus bagi
Paralegal sebagai wadah untuk melahirkan keder-kader Paralegal handal. Disamping
itu, perlu dipertegas ruang lingkup atau batasan peran dan tugas Paralegal agar
tidak disalah artikan sebagai sebuah pekerjaan atau profesi.
Sedangkan berkaitan dengan pengawasan terhadap
pelaksanaan kerja-kerja Paralegal di komunitasnya, mesti pula dipersiapkan
secara baik melalui sebuah mekanisme, disamping tetap “membumikan”
nilai-nilai etis (kode etik) bagi Paralegal. Hal ini diperlukan guna untuk
mengantisipasi terjadinya penyimpagan dan benturan kepentingan dalam pemberian
layanan bantuan hukum. Sedangkan kode etik Paralegal diperlukan sebagai pedoman
bagi Paralegal dalam menjalankan pemberian layanan bantuan hukum di
komunitasnya, agar eksistensi Paralegal semakin kuat dan mendapatkan
kepercayaan dari semua pihak, termasuk aparat penegak hukum dan
pemerintah.
Selamat Bekerja Paralegal.