Jumat, 24 Juni 2016

ParaLegal dalam Undang Undang Bantuan Hukum

KEBERADAAN PARALEGAL DALAM
UNDANG UNDANG BANTUAN HUKUM
 


“ Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum telah memberikan

 legitimasi yuridis terhadap eksistensi Paralegal sebagai bagian dari pemberi bantuan hukum. Selama ini eksistensi Paralegal hanya memperoleh legitimasi sosial dari komunitasnya, sehingga dalam menjalankan peran dan tugas mulianya seringkali mendapat resistensi dari aparat penegak hukum maupun pemerintah”



Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, selanjutnya disebut Undang-Undang Bantuan Hukum  adalah dalam rangka mewujudkan akses terhadap keadilan (acces to justice) bagi setiap orang terutama orang miskin atau tidak mampu agar memperoleh jaminan dalam pemenuhan haknya atas bantuan hukum. 



Jaminan atas hak bantuan hukum merupakan implementasi dari prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) sebagaimana amanat konstitusi dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD1945. Negara terutama pemerintah sebagai penyelenggaran negara memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan hak atas bantuan hukum sebagai hak konstitusional warga negara. Berdasarkan pertimbangan inilah secara yuridis urgennya eksistensi Undang-Undang Bantuan Hukum.     



Adanya kesadaran negara, dalam hal ini pemerintah untuk mengimplementasikan  tanggungjawabnya melalui lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum, setidaknya menjadi salah satu peluang yang mesti dimanfaatkan dalam upaya mengwujudkan akses terhadap keadilan, terlepas dari segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam Undang-Undang Bantuan Hukum.



Di dalam Undang-Undang Bantuan Hukum, yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Bantuan hukum diberikan oleh lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum, yang meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum. Dalam pelaksanaannya, selanjutnya pemberi bantuan hukum diberikan hak melakukan rekrutmen terhadap Advokat, Paralegal, Dosen, dan Mahasiswa Fakultas Hukum. Inilah bentuk legitimasi yuridis terhadap eksistensi Paralegal dalam pemberian layanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin atau kelompok masyarakat miskin yang berhadapan dengan masalah hukum.



Dengan adanya pengakuan secara yuridis terhadap eksistensi Paralegal dalam Undang-Undang Bantuan Hukum ini, maka akan semakin memperkuat status maupun posisi Paralegal dalam menjalankan peran dan tugasnya di komunitas,  mengingat selama ini eksistensi Paralegal hanya memperoleh legitimasi sosial dari komunitasnya. 



Bila ditelusuri lebih jauh, terutama dilihat dari sejarah dan perkembangan Paralegal pada dasarnya merupakan seseorang yang bukan sarjana hukum, tetapi mengetahui masalah hukum dan advokasi hukum. Istilah Paralegal pertama kali dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1968 yang mengartikan Paralegal sebagai Legal Asistant yang tugasnya membantu seorang legal yaitu pengacara atau notaris dalam pemberian saran hukum kepada masyarakat dan bertanggungjawab langsung kepada legal. Untuk menjadi Legal Asistant diperlukan kualitas pendidikan tertentu, namun tidak dapat beracara atau mengesahkan suatu perbuatan hukum.



Sedangkan di Indonesia Paralegal yang dikembangkan tidak dalam artian legal Asistant sebagaimana di Amerika Serikat, melainkan Paralegal yang bekerja untuk komunitas tertentu. Paralegal dilahirkan melalui serangkaian pendidikan secara komprehensif dan berkelanjutan guna  membangun kesadarannya, dengan harapan selanjutnya adalah mampu memperjuangkan pemenuhan hak-hak asasi dari komunitasnya melalui pemberian layanan bantuan hukum.



Sebelum lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum, istilah Paralegal tidak ditemukan dalam satu-pun peraturan perundang-undangan di Indonesia. Meskipun demikian eksistensinya telah lama dikenal dan berkembang di komunitas masyarakat. Paralegal sendiri digagas dan dikembangkan oleh kalangan dari organisasi non pemerintah (non government organization), diantaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebagai salah satu lembaga tertua di Indonesia, dengan memberikan berbagai bentuk pendidikan dan pelatihan hukum bagi masyarakat miskin dan marjinal, sehingga mereka memiliki kemampuan dan keterampilan dalam memperjuangkan hak-haknya, sekaligus mampu memberikan layanan bantuan hukum di komunitasnya.



Peran Paralegal dalam pemberian layanan bantuan hukum, sangat urgen eksistensinya, mengingat masih banyaknya masyarakat yang miskin, marjinal dan buta hukum di Indonesia yang sulit mendapatkan akses terhadap keadilan, apalagi jumlah penduduk yang padat dan menyebar di berbagai wilayah yang luas sehingga tidak sebanding dengan jumlah Advokat yang tersedia, termasuk kepeduliannya terhadap permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat/kelompok masyarakat miskin. Sementara selama ini Paralegal telah berkontribusi secara nyata di komunitasnya dengan memberikan layanan bantuan hukum. Paralegal bahkan juga menjalankan kerja-kerja advokasi dan pengorganisasian di komunitasnya untuk dapat mendorong tumbuh berkembangnya kesadaran hukum masyarakat serta mampu mendorong proses demokrasi di tingkat lokal.



Namun tidak adanya legitimasi yuridis terhadap eksistensi Paralegal selama ini senantiasa menjadi hambatan dan kendala bagi Paralegal dalam menjalankan peran dan tugasnya dalam pemberian layanan bantuan hukum, baik berupa legalitas yang seringkali dipertanyakan oleh berbagai pihak terutama aparat penegak hukum maupun pemerintah. Hal mana cenderung berujung pada resistensi terhadap Paralegal sehingga mereka tidak dapat bekerja secara maksimal.



Adanya legitimasi yuridis terhadap eksistensi Paralegal, tentunya semakin memperkuat eksistensi Paralegal, sehingga ke depan mereka diharapkan dapat berperan secara maksimal dalam kerja-kerja pemberian layanan bantuan hukum. Namun, setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi kedepan. Pertama, tentang bagaimana menjamin kapasitas Paralegal sesuai dengan peran dan fungsinya, kedua bagaimana membuat dan menjelaskan batas-batas kerja Paralegal karena Paralegal bukanlah sebuah pekerjaan atau profesi dan yang ketiga mengenai mekanisme pengawasan terhadap Paralegal.



Guna menghadapi tantangan di atas, maka kedepan Paralegal harus memiliki kapasitas dan integritas yang kuat, sehingga kader-kader Paralegal perlu mendapatkan pendidikan secara komprehensif dan berkelanjutan, baik mengenai pengetahuan hukum dasar, keterampilan maupun nilai etis seorang Paralegal. Dengan demikian sangat perlu kiranya, lembaga pemberi bantuan hukum untuk segera mempersiapkan adanya lembaga pendidikan khusus bagi Paralegal sebagai wadah untuk melahirkan keder-kader Paralegal handal. Disamping itu, perlu dipertegas ruang lingkup atau batasan peran dan tugas Paralegal agar tidak disalah artikan sebagai sebuah pekerjaan atau profesi.



Sedangkan berkaitan dengan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja-kerja Paralegal di komunitasnya, mesti pula dipersiapkan secara baik melalui sebuah mekanisme, disamping tetap “membumikan” nilai-nilai etis (kode etik) bagi Paralegal. Hal ini diperlukan guna untuk mengantisipasi terjadinya penyimpagan dan benturan kepentingan dalam pemberian layanan bantuan hukum. Sedangkan kode etik Paralegal diperlukan sebagai pedoman bagi Paralegal dalam menjalankan pemberian layanan bantuan hukum di komunitasnya, agar eksistensi Paralegal semakin kuat dan mendapatkan kepercayaan dari semua  pihak, termasuk aparat penegak hukum dan pemerintah.



Selamat Bekerja Paralegal.

Senin, 20 Juni 2016

Soal Sengket Lahan KH Dewantara, Penggugat Datangkan Mantan Ketua RT

. Rubrik Pengadilan Dilihat: 150



Abdul Galib Ca’bang (ketiga dari kiri) bersama Suriyansah (baju biru) dan Posbakumadin PN Tanjung Redeb

TANJUNG REDEB – Hingga saat ini Abdul Galib Ca’bang selaku penggugat lahan di Jalan KH Dewantara terus menunggu itikad baik dari para pemilik bangunan maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) untuk bernegosiasi. Pasalnya, hingga kini masih ada beberapa pihak yang belum melakukan negosiasi untuk menyelesaikan kasus sengket tersebut.

Alex Suryanata selaku koordinator penanganan perkara dari Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (Posbakumadin) Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redeb mengatakan, saat ini masih ada beberapa pihak yang belum melakukan koordinasi dengan pihak penggugat atau Posbakumadin. Meski demikian, pihaknya masih menunggu jika memang ada pihak-pihak yang ingin berkoordinasi terkait perkara ini.
“Kita masih ada tenggang waktu dalam perkara ini. Tapi jika sampai batas waktu yang kita tentukan tidak ada titik terang, maka kita akan ampil keputusan terakhir untuk melakukan eksekusi,” ungkapnya saat ditemui beraunews.com, Senin (20/6/2016).

Ditempat yang sama, Suriyansah selaku kuasa dari Abdul Galib Ca’bang menjelaskan jika pihaknya sedikit kecewa dengan komentar Kepala Bagian (Kabag) Pertanahan Pemkab Berau, Sulaiman beberapa waktu lalu yang mengatakan, pihaknya berpatokan pada informasi Ketua RT yang menjabat pada masa itu jika lahan tersebut milik Pemkab.

“Tahun 2014 itu saya dengan Ca’bang sudah menghadap ke Pemda dan kata Sulaiman, itu nanti kami diundang lagi untuk membahas masalah sengketa lahan tersebut, dan pihaknya juga mengatakan jika memang keputusannya mengatakan kami sebagai pemenang, maka akan ada ganti rugi, tapi kemarin komentarnya seperti itu,” katanya.

Suriansyah menambahakan, kekacauan lahan tersebut sebenarnya akibat ulah Ketua RT yang pada saat itu dijabat Ismed. Ismed lah yang mengatakan lahan tersebut milik Pemkab dan beberapa surat yang terbit dan menjelaskan batas lahan mereka berbatasan dengan Pemkab pun sudah diselesaikan.

“Tahun 2014 itu ada plakat yang menandakan bahwa lahan tersebut ada yang memiliki, setelah saya telepon nomor handphone yang tertera ternyata itu nomor Ismed. Akibat dari ulah tersebut, malah ada warga yang berprofesi sebegai penjual sayur mengumpulkan uang untuk membeli lahan dengan Ismed, tapi kami tidak permasalahkan karena kasihan juga mereka,” tambahnya.

Untuk memperjelas perkara ini, pihak penggugat berencana memanggil Ismed untuk menjelaskan asal mula status lahan tersebut. Diketahui saat ini Ismed sedang berada di Grogot, Kabupaten Paser.

“Ismed tahu bahwa lahan ini milik kami, saya masih pegang rekaman percakapan kami. yang jelas kami akan memanggil dia untuk datang ke Berau untuk menjelaskan status lahan karena dia yang menjadi RT pada saat itu,” pungkasnya.(dws)

Sumber : http://www.beraunews.com/hukum-kriminal/pengadilan/286-soal-sengket-lahan-kh-dewantara-penggugat-datangkan-mantan-ketua-rt

Kamis, 09 Juni 2016

Sengketa Lahan Siap “Eksekusi” Kembali Muncul


. Rubrik Pengadilan Dilihat: 409  

 Pius Pati Molan



TANJUNG REDEB – Selain lahan di Jalan Pulau Panjang yang menjadi sengketa, ternyata jauh sebelum itu sudah bergulir kasus sengketa lahan di Jalan Murjani II, Gang Pelangi tepatnya di belakang Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah (STIEM) Tanjung Redeb. Bahkan kabarnya, lahan itu pun telah siap dieksekusi Abdul Galib Cabbang selaku penggugat.
Dikonfirmasi beraunews.com, Kamis (9/6/2016) terkait kebenaran kabar ini, Ketua Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (Posbakumadin) Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redeb, Pius Pati Molan membenarkan hal itu. Dia mengatakan, pihaknya menerima klien dengan perkara sengketa lahan dan laporan tersebut resmi diterima pihaknya tanggal 18 April 2016 lalu.

“Memang kita dapat aduan dan bantaun hukum resmi diterima oleh Posbakumadin pada 18 april lalu,” ujarnya.

Pius menceritakan, awal mula kasus perdata tersebut naik ke persidangan tahun 1985 dengan perkara perselisihan batas lahan antara Abdul Galib Cabbang selaku penggugat dan Daeng Bedu selaku tergugat dengan luas lahan sekitar 2.890 meter persegi. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb Nomor 10/pts.pdt/g/1985/pn.tjr tanggal 5 November 1985, Abdul Galib Cabbang dimenangkan selaku pemilik lahan yang sah.

“Kepemilikan lahan Cabbang bermula saat ia menjadi korban kebakaran pada tahun 1978. Pada tahun 1980, Departemen Sosial memberikan lahan untuk digarap dan pihak Kepala Kampung menunjuk kawasan tersebut sebagai lahan yang digarap oleh Cabbang dan diketahui oleh Kantor Agraria. Tak terima dengan putusan PN tersebut, tergugat melakukan langkah hukum banding dalam perkara Nomor 51/1986/pdt.pt.kt/smd tanggal 9 Juli 1986. Lagi-lagi pihak Abdul Galib Cabbang kembali dimenangkan dan putusan tersebut menguatkan putusan PN Tanjung Redeb,” ungkapnya.

Lebih jauh, Pius mengatakan tak puas dengan keputusan tersebut, pihak tergugat kembali mengambil langkah hukum dengan naik ke tingkat Mahkamah Agung (MA) dengan putusan Nomor 3986.K/pdt/1986 dalam perkara kasasi perdata tanggal 5 November 1986 menyatakan Abdul Galib Cabbang kembali dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas lahan tersebut.

“Kasus ini sudah sampai ke MA dan pihak penggugat dinyatakan sebagai pemilik sah,” bebernya.

Karena sudah dinyatakan sebagai pemilik sah atas lahan tersebut, pihak penggugat berencana melakukan eksekusi karena di atas lahan tersebut sudah ada tanaman dan beberapa bangunan. Namun, lantaran sudah tak memiliki dana lagi, Cabbang selaku penggugat memutuskan menunda eksekusi itu dan pergi merantau ke Samarinda.

“Pada tahun 1986 itu, ia tinggalkan lokasi lahan tersebut dan di tahun 2014 lalu ia kembali ke Berau sudah mendapati lokasi tanahnya sudah banyak dibangun dan diperjualbelikan. Setelah ia mengetahui adanya bantuan hukum tanpa biaya, maka ia mengadukan kasus ini ke Posbakumadin,” jelasnya.

Berdasarkan laporan itu, Posbakumadin membentuk tim dan akan menelaah kembali perkara perdata yang ada dan saat ini langkah yang diambil mendatangi pemilik bangunan dan memberikan pemahaman atau pendekatan secara persuasif.

“Atas laporan ini, kami sudah buat tim untuk melakukan pengecekan kembali dan menelaah kasusnya. Selain itu, kami juga melakukan pendekatan terhadap pemilik bangunan yang ada agar mereka mengerti dengan putusan yang sudah inkrach van gewijsde (berkekuatan hukum tetap-red),” pungkasnya.(dws)

Sumber : http://www.beraunews.com/hukum-kriminal/pengadilan/158-sengketa-lahan-siap-eksekusi-kembali-muncul